Globalisasi
berjalan seiring berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi. Globalisasi membawa kemajuan di dalam pribadi para remaja dan
setiap elemen masyarakat, namun
globalisasi
juga memberikan dampak buruk pada budaya. Globalisasi membuat budaya menjadi terancam, karena
masyarakat yang merasakan kemajuan jaman selalu beranggapan bahwa budaya daerah
tidaklah penting lagi
karena yang ada
dalam otak mereka hanyalah bagaimana
caranya dapat hidup mengikuti
kemajuan perkembangan iptek saat ini sehingga tidak ingin disebut gaptek.
Ironinya bukan
hanya sekedar memberi dampak buruk terhadap sikap para remaja, namun juga
merasuk ke dalam jiwa mereka
yang kemudian tertanam kukuh dan kemudian menguasai diri mereka. Sehingga mengalahkan kesadaran mereka
dalam berbudaya. Salah satunya
hilangnya atau lunturnya bahasa jawa. Mereka menganggap bahasa jawa ketinggalan zaman bahkan
mereka banyak yang tidak bisa berbahasa jawa kepada orang yang lebih tua atau bahasa
karma inggil. Mereka tidak bisa berbahasa jawa karena disebabkan oleh beberapa
faktor seperti faktor orang tua yang selalu mengajarkan anaknya berbahasa Indonesia
sejak kecil, lalu disekolah dan lingkungan tidak diajarkan berbahasa jawa.
Sungguh memprihatinkan bukan kalau orang jawa tidak bisa berbahasa jawa!!. Atau
pepeatah sering mengatakan “Wong Jawa
tapi ora Jawani”.Namun, di sisi lain tidak sedikit warga negara asing yang
kagum akan budaya Jawa dan sangat antusias serta berlomba-lomba untuk bisa dan belajar budaya
Jawa terutama berbahasa jawa.
Memang sebuah
kenyataan pahit yang harus diterima. Namun hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu
saja. Rasa bangga tidak cukup hanya diucapakan di bibir saja, namun harus
dibuktikan dengan tindakan nyata, yaitu kita wajib menjaga dan melestarikan bahasa jawa kita. Bahasa jawa adalah sebuah identitas dan cirri khas suku atau
masyarakat jawa.